Entri Populer

Tuesday, 20 October 2015

CERAIKAN AKU (KHULU') .Bagaimanakah Hukumnya Bagi Istri

PERCERAIAN ,perkara halal yang paling DIBENCI oleh ALLAH.



Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi.

Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan

.الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِفَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِفَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُون

َ“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah 2:229)

Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya.Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.


  • HUKUM ISTRI MENGGUGAT CERAI SUAMI (KHULU’)




Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan hal ini, diantaranya,Dari Tsaubanradhiyallahu ‘anhu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّة

ِ“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga”(HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187).

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.

Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak

’,أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة

“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)

Dalam hadis lain, dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَات

ُ“Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461)

Al-Munawi menjelaskan hadis di atas

,أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي

“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’


Seorang isteri yang meminta cerai dari suaminya tanpa sebab adalah haram hukumnya.Terdapat sabda Nabi SAW (bermaksud);

 "Mana-mana wanita (isteri) meminta cerai dari suaminya tanpa ada suatu desakan, haram ke atasnya mencium bau Syurga (yakni akan ditegah dari mencium bau Syurga)" (HR Imam Ahmad, Abu Daud, at-Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Tsauban RA. Menurut at-Tirmizi; hadis ini hasan. al-Jami' as-Saghier, no. hadis; 2944).


  • Khulu’ Hukumnya Haram


Ini adalah pendapat mazdhab Imam Ahmad bin Hanbal, dan uniknya keharaman khulu’ ini bisa terkena kepada 2 pihak, baik istri maupun suami. Keduanya bisa dikenakan dosa jika memang melakukan khulu itu dengan alasan yang tidak diizinkan oleh syariat menurut madzhab Hanbaliy.

a. Haram Bagi Istri
Keharaman akan didapatkan oleh pihak istri jika ia meminta cerai atau khulu tanpa alasan yang jelas, artinya keduanya hidup dalam keadaan yang baik-baik saja dan tidak ada alasan untuk meminta cera akan tetapi si istri justru meminta itu. Ini haram hukumnya dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan hadits sahabat Tsauban

.أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْس

ٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة

ِNabi s.a.w.: “siapa wanita yang meminta khulu’ tanpa ada alasan kepada suaminya, maka haram baginya bau surga.”(HR Abu Daud, Ibnu Majah)

Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan bahwa seorang wanita yang meminta cerai itu berdosa, bukan karena hadits di atas, akan tetapi juga karena ia telah menjadikan dirinya dalam mudharat, karena lepas dari seorang yang baik. dan dengan khulu tersebut ia telah meghilangkan tujuan mulia nikah itu sendiri. (al-Mughni 8/177)

Akan tetapi, pada teknisnya ulama madzhab Hanabilah tidak satu suara. Justru beberapa ulama bahkan tidak bisa dikatakan sedikit bahwa mereka menganggap larangan dalam hadits itu tidak berbuah keharaman akan tetapi hanya sebuah kemakruhana saja, yang berarti boleh dilakukan hanya saja tidak dianjurkan dan tidak berbuah dosa. Begitu yang disebutkan oleh Imam al-Buhuti dalam kitabnyaKasysyaf al-Qina’(5/212).

b. Haram Bagi Suami
Kalau tadi haram dari sisi istri, pada sisi lain, keharaman khulu ini juga bisa dikenakan kepada suami.

Kapan?
Ketika suami berlaku zalim kepada istri dengan memukulnya, tidak memberikan nafkah atau biaya hidup yang layak dan cukup, baik pangan atau juga sandang dan papan. Kesempitan itu semua dilakukan suami karena memang agar istrinya tidak ridha dan meminta khulu’. Karena meminta khulu, maka si sitri harus memberikan ‘Iwadh(bayaran khulu’) kepada suami.

Di sinilah suami terkena dosa, karena berlaku kasar biar dapat ‘Iwadh dan pergi

.وَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

“janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,”(al-NIsa’ 19)

Imam Nawawi, dalam al-Majmu’ menyebutkan bahwa kalau kejadiannya seperti yang di atas, maka apapun yang disyaratkan oleh suami tentang ‘Iwadh tersebut tidak terjadi. Artinya khulu’-nya sah akan tetapi suami sama sekali tidak mendapat apa-apa dari iwadh yang ia syaratkan tersebut. Karena itu syarat yang melanggar aturan syariah. (al-Majmu’ 3/17)

Haruskah Suami Menyetujui?
Jawaban atas pertanyaan subjudul ini adalah wajib.
Kenapa wajib?
Karena memang khulu’ itu hukum syariat yang punya rukun, yang mana tidak mungkin terjadi jika tidak terpenuhi rukunnya. Dan rukun yang disepakati oleh ulama dalam khulu, salah satunya adalah-Mujib atau yang menerima ‘Iwadh, yakni suaminya.

Artinya tidak mungkin khulu terjadi tanpa ada persetujuan dari suami.

Bagaimana jika suami menolak?
Mengacu kepada rukun khulu’, jika memang suami menolak, khulu tidak akan terjadi. Maka untuk mensiasati itu, agar khulu itu benar-benar terjadi dan keinginan si istri terlepas dari suami yang sudah tidak dinginkannya tersebut, maka mestinya si istri ajukan khulu kepada hakim, bukan langsung kepad suami.


  • Meminta Cerai Karena Suami Buruk Rupa


Para ulama telah menyebutkan bahwa boleh bagi seorang wanita yang meminta cerai dikarenakan tidak bisa meraih kebahagiaan dikarenakan sang suami buruk rupa. Dalil akan hal ini adalah kisah istri sahabat Tsabit bin Qois yang meminta cerai darinya. Ibnu Abbas meriwayatkan

:أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلا دِينٍ ، وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ؟ قَالَتْ : نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اقْبَلْ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَة

ً"Bahwasanya istri Tsaabit bin Qois mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, suamiku Tsaabit bin Qoistidaklah aku mencela akhlaknya dan tidak pula agamanya, akan tetapi aku takut berbuat kekufuran dalam Islam". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Apakah engkau (bersedia) mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai maharmu-pen)?".Maka ia berkata, "Iya". Rasulullah pun berkata kepada Tsaabit,"Terimalah kembali kebun tersebut dan ceraikanlah ia !"(HR Al-Bukhari no 5373)

Dalam riwayat ini jelas bahwa istri Tsaabit bin Qois sama sekali tidak mengeluhkan akan buruknya akhlak suaminya atau kurangnya agama suaminya. Akan tetapi ia mengeluhkan tentang perkara yang lain.

Apakah perkara tersebut??
Dalam sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa istri Tsabit memintakhulu' karena buruk rupanya Tsabit.

عن حجاج عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال كانت حبيبة بنت سهل تحتثابت بن قيس بن شماس وكان رجلا دميما فقالت يا رسول الله والله لولا مخافة الله إذا دخل علي لبصقت في وجهه

Dari Hajjaj dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dan dari kakeknya berkata,
"Dahulu Habibah binti Sahl adalah istri Tsaabit bin Qois bin Syammaas. Dan Tsaabit adalah seorang lelaki buruk dan pendek, maka Habibah berkata,"Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau bukan karena takut kepada Allah maka jika ia masuk menemuiku maka aku akan meludahi wajahnya". (HR Ibnu Maajah no 2057 dan didho'ifkan oleh Syaikh Al-Albani)

Namun telah datang dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Abbas berkata:

إن أول خلع كان في الإسلام، أخت عبد الله بن أبي، أنها أتت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله لا يجمع رأسي ورأسه شيء أبدا! إني رفعت جانب الخباء، فرأيته أقبل في عدة، فإذا هو أشدهم سوادا، وأقصرهم قامة، وأقبحهم وجها! قال زوجها: يا رسول الله، إني أعطيتها أفضل مالي! حديقة، فإن ردت على حديقتي! قال:"ما تقولين؟" قالت: نعم، وإن شاء زدته! قال: ففرق بينهما

"Khulu' yang pertama kali dalam sejarah Islam adalah khulu'nya saudari Abdullah bin Ubay (Yaitu Jamilah bintu Abdullah bin Ubay bin Saluul gembong orang munafiq, dan saudara Jamilah bernama Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Saluul-pen). Ia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak mungkin ada sesuatu yang bisa menyatukan kepalaku dengan kepala Tsabit selamanya. Aku telah mengangkat sisi tirai maka aku melihatnya datang bersama beberapa orang. Ternyata Tsaabit adalah yang paling hitam diantara mereka, yang paling pendek, dan yang paling jelek wajahnya"Suaminya (Tsaabit) berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah memberikan kepadanya hartaku yang terbaik, sebuah kebun, jika kebunku dikembalikan, (maka aku setuju untuk berpisah)". Nabi berkata,"Apa pendapatmu (wahai jamilah)?". Jamilah berkata, "Setuju, dan jika dia mau akan aku tambah". Maka Nabipun memisahkan antara keduanya (Diriwayatkan oleh Ibnu JarirAt-Thobari dalam tafsirnya (4/552-553, no 3807),


Catatan:

Pertama:
Para ulama berselisih tentang nama istri Tsabit bin Qois, apakah namanya Jamilah binti Abdillah bin Ubay bin Saluul ataukah Habibah binti Sahl?. Akan tetapi Ibnu Hajar rahimahullah condong bahwa Tsabit pernah menikahi Habibah lalu terjadi khuluk, kemudian ia menikahi Jamilah dan juga terjadi khulu' (lihat Fathul Baari 9/399)

Kedua:
Dalam sebagian riwayat yang shahih menunjukkan bahwa Tsaabit bin Qois radhiallahu 'anhu pernah memukul istrinya hingga tangannya patah. Sehingga inilah yang dikeluhkan oleh istri beliau sehingga minta khulu'Dari Ar-Rubayyi' bin Mu'awwidz berkata :

أن ثابت بن قيس بن شماس ضرب امرأته فكسر يدها وهي جميلة بنت عبد اللهبن أبي فأتى أخوها يشتكيه إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم فأرسل رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى ثابت فقال له خذ الذي لها عليك وخل سبيلها قال نعم فأمرها رسول الله صلى الله عليه و سلم أن تتربص حيضة واحدة فتلحق بأهلها

"Sesungguhnya Tsaabit bin Qois bin Syammaas memukul istrinya hingga mematahkan tangannya. Istrinya adalah Jamilah binti Abdillah bin Ubay. Maka saudara laki-lakinya pun mendatangi Nabi mengeluhkannya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim utusan ke Tsabit dan berkata, "Ambillah harta milik istrimu yang wajib atasmu dan ceraikanlah dia". Maka Tsaabit berkata, "Iya". Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan Jamilah untuk menunggu (masa 'iddah) satu kali haid. Laluiapun pergi ke keluarganya" (HR An-Nasaai no 3487 dan dishahihkan oleh Al-Albani

)عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ كَانَتْ عِنْدَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ فَضَرَبَهَا فَكَسَرَ بَعْضَهَا فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعْدَ الصُّبْحِ فَاشْتَكَتْهُ إِلَيْهِ فَدَعَا النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثَابِتًا فَقَالَ « خُذْ بَعْضَ مَالِهَا وَفَارِقْهَا ».فَقَالَ وَيَصْلُحُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ فَإِنِّى أَصْدَقْتُهَا حَدِيقَتَيْنِ وَهُمَا بِيَدِهَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُمَا فَفَارِقْهَا ». فَفَعَل

َ.Dari Aisyah bahwasanya Habibah binti Sahl dulunya istri Tsabit bin Qois, lalu Tsabit memukulnya hingga patahlah sebagian anggota tubuhnya. Habibah pun mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam setelah subuh dan mengadukan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang suaminya. Maka Nabi berkata kepada Tsabit,"Ambillah sebagian harta Habibah, dan berpisahlah darinya"Tsaabit berkata, "Apakah dibenarkan hal ini wahai Rasulullah?", Nabi berkata, "Benar". Tsabit berkata, "Aku telah memberikan kepadanya mahar berupa dua kebun, dan keduanya berada padanya". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Ambilah kedua kebun tersebut dan berpisalah dengannya". (HR Abu Dawud no 2230, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Dari riwayat-riwayat yang ada, seakan-akan ada pertentangan, karena sebagian riwayat menunjukkan bahwa istri Tsabit meminta cerai karena perangai Tsaabit yang telah memukulnya hingga menyebabkan patah tangan. Dan sebagian riwayat yang lain sangat jelas dan tegas bahwa sang istri tidak mencela akhlak dan agama Tsaabit, akan yang dikeluhkan ada kondisi tubuh Tsaabit yang hitam, pendek, dan buruk rupa.

Ibnu Hajar menjamak kedua model riwayat diatas dengan menyebutkan suatu riwayat dimana istri Tsabit berkata

:والله ما أعتب على ثابت في دين ولا خلق ولكني أكره الكفر في الإسلام لا أطيقه بغضا

"Demi Allah aku tidak mencela Tsabit karena agamanya dan juga akhlaknya, akan tetapi aku takutkan kekufuran dalam Islam, aku tidak sanggup dengannya karena aku membencinya" (HR Ibnu Maajah no 1673 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

لكن تقدم من رواية النسائي أنه كسر يدها فيحمل على أنها أرادت أنه سيء الخلق لكنها ما تعيبه بذلك بل بشيء آخر ... لكن لم تشكه واحدة منهما بسبب ذلك بل وقع التصريح بسبب آخر وهو أنه كان دميم الخلقة

"Akan tetapi telah lalu dalam riwayat An-Nasaai bahwasanya Tsaabit mematahkan tangan sang istri, maka dibawakan kepada makna bahwasanya sang istri ingin mengatakan bahwa Tsabit buruk akhlaknya akan tetapi ia tidak mencela Tsaabit karena hal itu, akan tetapi karena perkara yang lain…tidak seorangpun dari kedua istrinya (Jamilah maupun Habibah) yang mencela Tsabit karena "sebab mematahkan tulang", akan tetapi telah datang penjelasan yang tegas akan sebab yang lain, yaitu perawakan Tsaabit buruk" (Fathul Baari 9/400

Diantara perkara-perkara tersebut adalah :

1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung

2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar music, dll

4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.


   sebelumnya baca ini

5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain

6. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami

 Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata

:وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها

"Dan kesimpulannya bahwasanya seorang wanita jika membenci suaminya karena akhlaknya atau perawakannya/rupa dan jasadnya atau karena agamanya, atau karena tuanya, atau lemahnya, dan yang semisalnya, dan ia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami maka boleh baginya untuk meminta khulu' kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk membebaskan dirinya" (Al-Mughni 8/174)




Hilangnya kabar tentang keberadaan sang suami, apakah sang suami sudah meninggal atau masih hidup, dan terputusnya kabar tersebut sudah berjalan selama beberapa tahun. Dalam salah satu riwayat dari Umar Radhiyallahu’anhu, kurang lebih 4 tahun.

ما روي عن عمر رضي الله عنه ، أنه جاءته امرأة فقد زوجها ،فقال: تربصي أربع سنين ، ففعلت ، ثم أتته فقال : تربصي أربعة أشهر وعشراً ، ففعلت ، ثم أتته فقال : أين ولي هذا الرجل؟ فجاؤوا به ، فقال: طلقها ، ففعل ، فقال عمر: تزوجي من شئت . رواه الأثرم والجوزجاني والدارقطني

 Diriwayatkan dari Umar Ra bahwasanya telah datang seorang wanita kepadanya yang kehilangan kabar tentang keberadaan suaminya. Lantas Umar berkata: tunggulah selama empat tahun, dan wanita tersebut melakukannya. Kemudian datang lagi (setelah empat tahun). Umar berkata: tunggulah (masa idah) selama empat bulan sepuluh hari. Kemudian wanita tersebut melakukannya. Dan saat datang kembali, Umar berkata: siapakah wali dari lelaki (suami) perempuan ini? kemudian mereka mendatangkan wali tersebut dan Umar berkata: “ceraikanlah dia”,lalu diceraikannya. Lantas Umar berkata kepada wanita tersebut: “Menikahlah (lagi) dengan laki-laki yang kamu kehendaki”.



Pada dasarnya, baik suami maupun istri adalah dua pihak yang satu sama lain sudah pasti memiliki keinginan untuk sama-sama bahagia di dunia dan akherat, namun seringkali di dalam perjalanannya banyak ditemui berbagai problema kehidupan, yang SEHARUSNYA, sebagai suami istri keduanya harus menyikapinya secara bersama-sama sebagai "satu kapal".

Hanya saja di dalam realitasnya justru tidak jarang masing-masing pihak justru lebih mengedepankan ego masing-masing, mengutamakan cara masing-masing dan mementingkan diri sendiri

Analogi singkatnya, jika di dalam sebuah kapal, dalam hal ini biduk rumah tangga, apabila di antara suami dan istri sama-sama ingin menahkodai maka yang terjadi kapal tersebut sudah bukan lagi berlayar ke arah tujuan yang sama melainkan justru hanya diam di tempat untuk kemudian lambat laun akan terbelah dua dan akhirnya tenggelam.

Analogi ini yang seringkali luput.
Padahal ketika di awal pernikahan sejatinya mereka sudah "menyepakati" untuk bersatu dengan tujuan menempuh arah dan tujuan yang sama.


ingat Hadist ini



.أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْس

ٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة

ِNabi s.a.w.: “siapa wanita yang meminta khulu’ tanpa ada alasan kepada suaminya, maka haram baginya bau surga.”(HR Abu Daud, Ibnu Majah)

Apakah alasan  anda  bisa  diterima syariat  dan atau anda  hanya mengikuti ego yang pada dasarnya hanyalah bujukan syetan

Pikirlah baik  baik

Apakah ini yang anda inginkan








Bukankah yang seperti ini lebih indah






Semoga dengan ini bisa mengingatkan kita semua


No comments: